Dalam notifikasi yang dikirimkan oleh Dewan Banding WTO ke pemerintah Indonesia (DS490 dan DS496) pada Agustus lalu, WTO memutuskan RI dinyatakan bersalah melakukan pembatasan impor produk tersebut.
Menurut Ketua Umum Indonesia iron and steel industry association (IISIA), Silmy Karim, perkembangannya saat ini 26 dari 27 tuntutan yang diajukan Taiwan dan Vietnam telah ditolak, sehingga Peraturan Menteri Keuangan dengan Nomor 130/PMK.010/2017 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) terhadap Impor Produk Canai Lantaian dari Besi atau Baja Bukan Paduan. "PMK tersebut dinyatakan tidak menyalahi satupun pasal dalam WTO Safeguard Agreement maupun Article XIX GATT 1994," urainya kepada Kontan.co.id, Kamis (29/11).
Lebih lanjut Silmy mengungkapkan bahwa satu-satunya tuntutan yang diterima hanya terkait pengecualian terhadap 120 negara berkembang dan pengenaannya. Sehingga secara pasti permintaan Taiwan dan Vietnam agar PMK 137 dicabut juga tidak dikabulkan oleh WTO.
Adanya PMK dinilai penting mengingat kondisi produk baja impor yang masih marak di tanah air. "Faktanya kan produk baja lapis dari kedua negara masih membanjiri pasar domestik Indonesia. Sehingga industri baja lapis Indonesia sangat tertekan," terang Silmy.
Sehingga menurutnya kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini patut didukung oleh semua pihak. Kedepannya, IISIA berharap pemerintah melakukan penyesuaian tarif impor baja dari hulu ke hilir pasca keputusan sidang organisasi perdagangan dunia atas keberatan yang diajukan oleh Vietnam dalam penerapan perlindungan perdagangan produk tersebut.
Silmy yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) ini melihat sebenarnya kompetisi di dalam dunia bisnis sebenarnya hal yang biasa."Asal persaingannya sehat atau fair. Namun yang terjadi saat ini terjadi persaingan yang tidak fair (maraknya impor), dan kalau dibiarkan akan membuat mati industri baja nasional," sebutnya.
Saat ini utilisasi rata-rata pabrik baja di Indonesia menurut IISIA sudah dibawah 50%, Apalagi di industri hilir baja misalnya seperti baja lapis untuk aplikasi atap bangunan. Adapun KRAS mengaku optimis dan siap bersaing dengan pemain domestik maupun produk impor lainnya.
Perseroan optimis kapasitas produksi tahun depan bisa mencapai 6,5 juta ton. Target tersebut didukung kerjasama yang akan direalisasikan bersama badan usaha milik negara (BUMN) dalam penyediaan produk baja untuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur pemerintah dan swasta.
Silmy mengatakan, melalui kerjasama tersebut diharapkan dapat meningkatkan jumlah kapasitas produksi khususnya untuk besi beton. "Setidaknya untuk tahun depan dari kerjasama ini ada tambahan sebanyak 1,5 ton dari realisasi tahun ini karena kita akan tambah satu mesin di bulan April guna mendukung kerjasama ini," ujarnya.
Menurutnya, dengan kontribusi tersebut maka kapasitas produksi tahun depan ditargetkan bisa mencapai 6,5 juta ton dengan utilitas 70%-80%. Manajemen mencatat per November ini saja kapasitas produksi KRAS sudah mencapai sekitar 5 juta ton.
Sementara itu bagi pelaku bisnis metal, baja dan aluminium PT HK Metals Utama Tbk (HKMU) mengatakan, apapun kebijakan pemerintah tentu perusahaan akan mengikutinya. "Jika ada perubahan arahan kebijakan kami pasti akan melakukan perubahan strategi bisnis dari sisi yang lainnya," ujar Imelda, Sekretaris Perusahaan PT HK Metals Utama Tbk kepada Kontan.co.id, Kamis (29/11).
Kata dia, pihaknya percaya pemerintah dalam mengambil memutuskan langkah kebijakan pasti melihat industri dari hulu ke hilir. Sehingga langkah kedepan pasti akan dilihat rekomendasi jika dilakukan apakah akan merugikan produsen lokal.
Sumber : industri.kontan.co.id